Sabtu, 12 Maret 2011

Sekilas Tentang Pura Besakih

Inilah asal mulanya ada Besakih, sebelum ada apa-apa hanya terdapat kayu-kayuan serta hutan belantara di tempat itu, demikian pula sebelum ada Segara Rupek (Selat Bali). Pulau Bali dan pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau itu panjang dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (sekarang dikenal dengan nama Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi Markandeya.
Beliau berasal dan Hindustan (India), oleh para pengiring-pengiringnya disebut Batara Giri Rawang karena kesucian rohani, kecakapan dan kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap). Pada mulanya Sang Yogi Markandeya bertapa di gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung Hyang (konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI HYANG). Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawa setelah selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.
Sang Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera berangkat ke arah timur bersama para pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah 8000 orang. Setelah tiba di tempat yang dituju Sang Yogi Markandeya menyuruh semua para pengiringnya bekerja merabas hutan belantara, dilaksanakan sebagai mana mestinya.
Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya (bebanten / sesaji)
Kemudian perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi Markandeya kembali lagi ke tempat pertapaannya semula (Konon ke gunung Raung di Jawa Timur. Selama beberapa waktu Sang Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung. Pada suatu hari yang dipandang baik (Dewasa Ayu) beliau kembali ingin melanjutkan perabasan hutan itu untuk pembukaan daerah baru, disertai oleh para resi dan pertapa yang akan diajak bersama-sama memohon wara nugraha kehadapan Hyang Widhi Wasa bagi keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para pengiringnya berjumlah 4000 orang yang berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung Raung) dengan membawa alat-alat pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan ditanam di hutan yang akan dirabas itu. Setelah tiba di tempat yang dituju, Sang Yogi Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya. Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke utara. Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, Sang Yogi Markandeya memerintahkan agar perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan.
Di tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya menanam kendi (payuk) berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam emas, perak, tembaga, besi dan perunggu disertai permata Mirah Adi (permata utama) dan upakara (bebanten / sesajen) selengkapnya diperciki tirta Pangentas (air suci). Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam diberi nama BASUKI. Sejak saat itu para pengikut Sang Yogi Markandeya yang datang pada waktu-waktu berikutnya serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah baru, tidak lagi ditimpa bencana sebagai mana yang pernah dialami dahulu. Demikianlah sedikit kutipan dari lontar Markandeya Purana tentang asal mula adanya desa dan pura Besakih yang seperti disebutkan terdahulu bernama Basuki dan dalam perkembangannya kemudian sampai hari ini bernama Besakih.
Mungkin berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga berdasarkan apa yang tercantum dalam ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca Yadnya, sampai saat ini setiap kali umat Hindu akan membangun sesuatu bangunan baik rumah, warung, kantor-kantor sampai kepada pembangunan Pura, demikian pula memulai bekerja di sawah ataupun di perusahaan-perusahaan, terlebih dahulu mereka mengadakan upakara yadnya seperti Nasarin atau Mendem Dasar Bangunan. Setelah itu barulah pekerjaan dimulai, dengan pengharapan agar mendapatkan keberhasilan secara spiritual keagamaan Hindu di samping usaha-usaha yang dikerjakan dengan tenaga-tenaga fisik serta kecakapan atau keahlian yang mereka miliki. Selanjutnya memperhatikan isi lontar Markandeya Purana itu tadi dan dihubungkan pula dengan kenyataan-kenyataan yang dapat kita saksikan sehari-hari sampai saat ini tentang tata kehidupan masyarakat khususnya dalam hal pengaturan desa adat dan subak di persawahan. Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa Besakih adalah tempat pertama para leluhur kita yang pindah dari gunung Raung di Jawa Timur mula-mula membangun suatu desa dan lapangan pekerjaan khususnya dalam bidang pertanian dan peternakan. Demikian pula mengembangkan ajaran-ajaran agama Hindu.

Sekilas Sejarah Bali Kuno

Bali, yang dengan tepat disebut Bali Anka, artinya tempat lahir orang-orang kuat, pada sebuah prasasti Bali disebut dalam suatu naskah Tiongkok sebagai P’o-li. Dikatakan bahwa yang memerintah P’o-li adalah seorang raja dari keluarga Kaundinya, dan dinyatakan bahwa beliau mengirim perutusan-perutusan diplomatik ke Tiongkok pada triwulan abad keenam M.
Sanjaya, penulis prasasti Cangala di Jawa Tengah (732 M), diakui dalam karya Jawa-Kuno yang terakhir sebagai tokoh yang merebut Bali bersama-sama dengan wilayah-wilayah di seberang lautan lainnya. Sejak abad kedelapan atau kesembilan M, bekas-bekas Buddhisme diketemukan di tempat itu yang mungkin berasal dari Sumatera atau Jawa karena mungkin dengan adanya hubungan yang langsung dengan India.
Prasasti pertama yang diberi tanggal itu menyebut seorang raja yang bernama Ugrasena (915-942), yang hidup sezaman dengan Raja Sindhok diJawa Timur. (Suatu prasasti lebih awal (914 M), menunjuk kepada Adhipati Sri Kesariwarma). Seperti dinyatakan oleh Prof. Dr. George Cedes, kita ketemukan dari catatan-catatan tsb suatu masyarakat Hindu-Bali, tidak sama seperti di Jawa, yang menganut Hinduisme dan Buddhisme bersama-sama, dan berbicara sebuah dialek yang khas Bali.
Pada pertengahan kedua abad kesepuluh, kita mendapatkan beberapa nama bangsawan yang bergelar Warmadewa. Kita mendapatkan nama seorang ratu yang bernama Subhadrikawarmadewi. Prasasti tahun-tahun 989-1022 menyebut nama-nama Raja Udayana dan Ratu Mahendradatta.Ratu ini adalah seorang cucu buyut dari Sindok. Pernikahan ini, menyebabkan semakin mendalamnya penetrasi kebudayaan Jawa, terutama Tantrisme, ke pulau Bali . Airlangga adalah yang menyebabkan pernikahan.
Prof. Dr. F.D.K. Bosch. dari Kern Institute, mempunyai cerita yang aneh tentang pasangan bangsawan ini. Waktu berbicara mengenai persamaan yang sangat mirip antara perkembangan kebudayaan Kambudia dan Jawa pada acara peringatan 50 tahun berdirinya yayasan Ecole Francaise d’Extreme Orient tahun 1952, beliau mengatakan: “Ada alasan yang kuat untuk percaya bahwa Udayana Warman I dari Kambudia, yang memerintah relatif singkat, adalah pangeran yang sama dengan nama Udayana (di Bali dan Jawa) dan telah memainkan peranan penting sebagai ayah Airlangga yang termashur.
Kira-kira pada tahun 970, seorang puteri Kambudia, berduaan dengan Udayana, melarikan diri dari istana Kambudia, waktu masa-masa kesusahan perang penggantian raja. Puteri tersebut menyelamatkan diri ke Tanah Jawa di mana seorang raja Kambuja yang amat terkenal, Jayawarman II, juga telah hidup dalam pengasingan sebelum beliau pulang kembali ke Kambuja.

Adalah waktu di Jawa bahwa pangeran Kambudia, Udayadityawarman menjadi dewasa dan pada usia 15 tahun beliau menikah dengan seorang puteri Jawa. Persekutuan Khmer-Jawa ini memperkuat posisi yang memerintah di Jawa, dan sekarang merebut Bali . Kemudian beliau mengangkat Pangeran Udayana (atau Udayaditya) dan mempelainya menjadi gubernur Bali . Sekitar tahun 1009, Udayaditya dengan bantuan orang-orang Jawa merebut tahta Kambudia.
Akan tetapi beliau tidak dapat tetap berada di Jawa untuk hanya satu tahun saja, dan beliau dipaksa untuk kembali ke Bali , di mana beliau memerintah sebagai gubernur sampai tahun 1022. Adalah di Bali bahwa sekitar tahun 991 Airlangga lahir dan pada usia yang mdua menyeberang ke Jawa untuk menikah dengan puteri raja yang memerintah di Jawa Timur. Barangkali nama Airlangga berasal dari kisah hidup beliau. “Airlangga” artinya “ia yang menyeberang air – yaitu selat yang memisahkaan Bali dari Jawa. Airlangga, Beliau tampaknya, mewakilkan pemerintahan Bali, tempat beliau dilahirkan, kepada seorang wakil raja, Dharmawamsa Marakatapankaja, yang namanya tampak di prasasti-prasasti Bali selama tahun-tahun 1020-1025.
Selama tahun-tahun 1049-1077, prasasti-prasasti Bali menunjuk kepada ‘anak wungsu,’ misalnya balaputra (anak bungsu) – mungkin keluarga dekat Airlangga. Suradhipa dan Jayasakti adalah nama-nama raja-raja yang tampil pada masa 1115-1150 M. Seratus tahun kemudian, Kertaanagara raja Singasari, setelah mengkonsolidasikan posisi beliau di Sumatera pindah ke Bali . Pada tahun 1284 beliau memenjarakan raja Bali . Orang Bali yang berani itu segera melepaskan kekuasaan Jawa.

Jumat, 11 Maret 2011

Semua Ada di Jalan Legian

Jalan Legian merupakan jalan terpenting yang berada di Bali. Karena di jalan Legian anda akan menemukan berbagai macam toko,hotel,bar, sampai dengan klub dansa. Jalan legian benar-benar menawarkan wisata hiburan serta belanja yang lengkap.

Kamis, 10 Maret 2011

Sejarah Desa Adat Legian


Tidak jelas sumber dan informasi yang menjadi dasar dari munculnya kata Karang Kemanisan yang menyatakan nama awal dari Desa Legian, namun dari penuturan-penuturan para tetua dan tokoh-tokoh masyarakat (penglingsir) di Legian, bahwasannya Karang Kemanisan memang merupakan asal muasal dari nama Legian yang sekarang dipakai menjadi nama sebuah desa yang ada di pesisir pantai sebelah selatan pulau Bali ini.
Pada awalnya Karang Kemanisan

Memang menelusuri asal-usul bukan pekerjaan gampang, memang. Begitu juga menelusuri sejarah suatu tempat atau desa seperti halnya Legian. Sangat tidak mudah. Terlebih lagi, hingga kini sulit menemukan bukti-bukti otentik yang bisa menjelaskan kelahiran Desa  Legian, baik berupa prasasti, tinggalan arkeologis, teks-teks tradisional seperti babad ataupun sumber-sumber historis lainnya.
Namun, masyarakat Legian memiliki sebuah versi yang kerap dijadikan pegangan ketika menceritakan tentang asal mula nama Desa Adat Legian. Versi ini berdasarkan pada penuturan para penglingsir (tetua desa). Semacam cerita lisan yang diwariskan secara turun-temurun.
Konon, Desa Adat Legian awalnya bernama Karang Kemanisan. Nama Karang Kemanisan ini diketahui dari ucapan-ucapan para sadeg patih yang kerauhan ketika dilaksanakan upacara tertentu di pura-pura dalam emongan Desa Legian. Dalam ucapan-ucapan para sadeg itu, hampir tidak pernah disebutkan kata “Damuh Legian”. Yang kerap terdengar justru “Damuh Karang Kemanisan”.
Para penglingsir desa mengartikan karang sebagai tempat atau desa, sedangkan kemanisan berasal dari kata dasar manis yang mendapat awalan ke dan akhiran an. Kata kemanisan, kalau di dalam rasa berarti manis, jika dalam tempat atau pemandangan berarti indah, serasi bila dalam pergaulan, serta makmur dalam kehidupan.
Dari pengertian kata manis inilah kemudian mucul dugaan kehidupan masyarakat Legian awalnya cukup tentram dan makmur selain karena tempatnya yang indah. Nama Karang Kemanisan juga mengandung filosofi agar anak cucu atau siapa pun yang menempati tempat tersebut senantiasa menjaga keserasian dalam tata pergaulan, menjaga keindahan alam beserta lingkungannya sehingga mereka bisa dilimpahi kemakmuran, baik lahir maupun batin.
Lama-kelamaan nama Karang Kemanisan itu diubah menjadi Legian. Kata legian berasal dari kata dasar legi yang juga berarti manis. Dalam bahasa Jawa Kuno, legi juga berarti manis. Karenanya, dalam wewaran Jawa ada hari yang disebut legi dan di Bali disebut dengan umanis. Boleh jadi karena maknanya yang sama, Karang Kemanisan kemudian diubah menjadi Legian. Nama Legian memang lebih singkat dan memiliki makna lebih mendalam.
Meski begitu tiada jelas pula kapan nama Karang Kemanisan kemudian  mulai berubah menjadi legian. Begitu pula halnya dengan kapan sejatinya nama Karang Kemanisan mulai digunakan. Kini nama Karang Kemanisan diabadikan sebagai nama Taman Kanak-kanak yang dikelola oleh Desa Adat Legian.
Namun, ada dugaan Desa Adat Legian merupakan salah satu desa kuno. Hal ini didasarkan pada adanya Pura Penataran. Lazimnya, Pura Penataran dimiliki oleh desa-desa kuno seperti Penglipuran, Bayung Gede. Dugaan ini diperkuat lagi dengan ditemukannya arca atau patung kuno di Pura Puseh Desa Adat Legian yang bentuknya menyerupai arca atau patung kuno di Pura Pucak Penulisan, Bangli atau pun Pura Kebo Edan dan Pura Pengukur-Ukur, Pejeng, Gianyar. Hanya saja, hingga kini belum ada penelitian yang memberikan kesimpulan pasti mengenai usai arca  atau patung-patung kuno tersebut. (sumber: 20 th LPD Legian

Festival Ogoh-ogoh di Kuta 2011

Setiap tahun di Desa Adat Kuta dilaksanakan Festival Ogoh-ogoh. Berikut beberapa foto-fotonya.

Menyambut Hari Raya Nyepi Caka 1933 di Banjar Legian Kelod (Malam Pengerupukan)

Setiap tahun, kita sebagai umat Hindu di Bali pasti merayakan yang namanya hari raya besar yaitu Nyepi. Dan sehari sebelum hari raya Nyepi tersebut, kita merayakan yang namanya hari pengerupukan. Yang biasanya diadakan moment yaitu mengarak ogoh - ogoh yang serempak dilaksanakan di seluruh Bali. Lalu, sebenarnya, apakah makna diadakannya ogoh - ogoh tersebut di hari pengerupukan tersebut ?

PROSESI mengarak ogoh-ogoh serangkaian upacara Tawur Agung Kesanga adalah sebuah prosesi ekspresif- kreatif masyarakat Hindu di Bali dalam memaknai perayaan pergantian tahun Saka. Krama Bali membuat ogoh-ogoh buta kala seperti Kala Bang, Kala Ijo, Kala Dengen, Kala Lampah, Kala Ireng dan berbagai bentuk lainnya yang merupakan perlambang sifat-sifat negatif yang mesti di-somya agar tak mengganggu kehidupan manusia. Ogoh-ogoh buta kala yang dibuat kemudian natab caru pabiakalan sebuah ritual yang bermakna nyomia, mengembalikan sifat-sifat buta kala ke asalnya. Ritual tersebut dilanjutkan dengan mengarak ogoh-ogoh mengelilingi jalan-jalan desa dan mengitari catus pata sebagai simbol siklus sakral perputaran waktu menuju ke pergantian tahun Saka yang baru. Setelah prosesi ngerupuk tersebut ogoh-ogoh dipralina dengan dibakar.

Berikut kemeriahan upacara pengerupukan di Banjar Legian Kelod Desa Adat Legian yang berlangsung dari siang sampe malam hari